LANGIT7ID - Tasawuf sering dikenal sebagai jalan spiritual bagi seorang muslim. Tak sedikit yang salah kaprah memahami tasawuf. Biasanya tasawuf identik dengan orang yang menjauhi dunia dan nampak miskin namun hakikatnya tidak demikian. Pimpinan Majelis Ahbaburrosul Indonesia, Sayyid Seif Alwi, menjelaskan, tasawuf merupakan jalan hidup Karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagaimana disyarahkan oleh Syekh Muhammad Nawawi Banten mengutip keterangan ulama yang menyebutkan 10 sifat paling dibenci Allah SWT pada karyanya Nashaihul Ibad. Karya Imam Al-Asqalani menyebut 10 sifat buruk yang patut dijauhi. Syekh M Nawawi Banten dalam karyanya Nashaihul Ibad pada halaman 63 mengatakan bahwa sifat-sifat buruk yang dibenci Allah sebenarnya lebih dari sepuluh. Hanya saja 10 sifat ini merupakan sifat yang paling dibenci Allah. ŰŁÙƒŰšŰ± ŰšŰș۶ۧ من ŰșÙŠŰ±Ù‡Ù… Artinya, “Tetapi 10 hal ini paling dibenci dibandingkan hal lainnya,” Syekh M Nawawi Banten, Nashaihul Ibad, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah tanpa tahun], halaman 63. Imam Al-Asqalani menyebut secara rinci 10 sifat-sifat buruk yang perlu dijauhi 1. Kebakhilan orang kaya. Sifat bakhil melenyapkan sifat kemanusiaan dan menetapkan sifat kebinatangan. 2. Kesombongan orang fakir miskin. 3. Ketamakan ulama. 4. Kehilangan rasa malu kalangan perempuan. Syekh Nawawi mengutip hadits riwayat Ad-Dailami yang artinya, “Orang yang tidak memiliki rasa malu, maka tidak ada agama padanya. Siapa saja yang tidak malu di dunia, niscaya ia tidak masuk surga.” 5. Cinta duniawi hubbud duniya orang-orang tua setengah baya ke atas. 6. Kemalasan anak-anak muda. 7. Kezaliman penguasa. Syekh Nawawi mengutip hadits riwayat Al-Hakim yang artinya, “Siapa saja yang meridhai penguasa dengan sesuatu yang membuat Allah murka, niscaya ia telah keluar dari agama Allah.” 8. Rasa takut para tentara/militer dalam menghadapi musuh. Rasa takut adalah kelemahan jiwa yang merintangi tentara untuk berhadapan dengan tentara musuh. 9. SIkap ujub ahli zuhud. Syekh Nawawi mengutip hadits riwayat Abu Nu'aim yang artinya, “Siapa saja yang memuji dirinya sendiri atas sebuah amal saleh, maka pujiannya itu salah jalan dan gugurlah pahala amalnya.” 10. Sikap riya para hamba Allah yang ahli ibadah/ubbad. Syekh Nawawi Banten mengutip hadits riwayat Ad-Dailami yang artinya, “Waspadalah kalian mencampur ketaatan kepada Allah dengan menyukai pujian manusia karena dapat mengugurkan amal kalian.” Syekh Nawawi Banten menambahkan catatan pengecualian atas pujian orang lain tanpa ia sendiri menyukainya karena hal itu tidak termasuk riya. Syekh Nawawi Banten mengutip hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Dzar RA yang mengisahkan pertanyaan sahabat, “Bagaimana pendapatmu wahai Rasul tentang seseorang yang berbuat baik dan orang lain memujinya?’ Rasulullah SAW menjawab, Demikian itu adalah kabar gembira yang cepat bagi orang beriman.’” Semua ini patut menjadi catatan agar masing-masing orang dapat berbuat sesuatu sesuai dengan kapasitasnya dan menjauhkan sifat-sifat tercela. Wallahu a’lam. Penulis Alhafiz Kurniawan Editor Abdullah Alawi Berpikirnegatif terhadap segala sesuatu yang ada di hadapan akan menyebabkan anda selalu mempersepsi objek yang anda lihat dengan cara yang buruk, hindari sifat ini. Agar pikiran anda lebih tenang, orang yang memiliki etos yang baik akan selalu berupaya untuk berpikir positif, mencoba untuk mempersepsi segala sesuatu dengan cara pandang yang Apa itu naif? Ciri-ciri orang naif Cara mengatasi sifat naif yang negatif Terlalu mudah mempercayai orang lain tanpa mengetahui informasi sebenarnya di baliknya. Mungkin, hal itu yang bisa mendeskripsikan naif secara dasarnya, naif adalah salah satu karakter manusia yang terbilang lugu. Namun, tidak jarang juga banyak pendapat negatif mengenai sifat naif. Memangnya, apa saja ciri-ciri orang naif, ya?Apakah hanya orang yang bersifat polos saja? Nyatanya, ciri-ciri orang naif ini sangat beragam, lho. Mungkin, kamu pernah menemukan orang berciri-ciri ini di kamu semakin paham, cari tahu mulai dari pengertian serta ciri-ciri orang naif, yuk!Apa itu naif?Jadi sebenarnya, apa itu naif? Menurut Cambridge Dictionary, naif adalah sifat terlalu percaya bahwa seseorang mengatakan sesuatu secara jujur. Terlalu percaya jika niat orang tersebut cukup baik, dan menganggap jika kehidupan ini sangatlah sifat naif ini cukup berbeda dengan polos, ya. Pada dasarnya, sifat polos biasanya dimiliki oleh anak kecil yang belum terlalu mengerti akan kejahatan yang ada di umum, sifat polos ini dimiliki karena anak tersebut belum memiliki banyak pengalaman untuk bertemu banyak orang dari latar belakang naif sendiri lebih kepada karakteristik seseorang yang sudah cukup dewasa, namun terlalu percaya kepada orang lain dan tidak berpikir jika orang lain bisa saja orang yang naif tidak menyadari atau memperhatikan reaksi orang lain terhadap tindakannya. Ia akan langsung percaya akan omongan lawan bicaranya begitu naifCukup mirip dengan sifat polos, ada beberapa perbedaan dalam ciri-ciri orang naif yang bisa kamu ketahui, Terlalu mudah percaya dengan orang lainCiri-ciri orang naif pertama adalah terlalu mudah percaya dengan orang lain. Jika kamu selalu memercayai orang lain yang berkata apapun, lalu menyetujuinya, atau membantunya dengan mudah, sifat tersebut bisa dikatakan naif, pada dasarnya, tidak semua orang memiliki niat yang baik. Maka dari itu, saat berkomunikasi dengan orang lain, usahakanlah untuk mencari tahu fakta atau kebenaran dari perkataannya dahulu sebelum bertindak lebih lanjut untuk Terlalu mudah ditipuNah, ciri-ciri orang naif juga terlalu mudah ditipu, nih. Berawal dari mempercayai perkataan orang lain, lalu kamu akan ikut terjun membantu masalah yang dihadapi orang membantu masalah orang lain bukanlah sifat yang buruk. Namun, kamu bisa saja ditipu oleh masalah-masalah tersebut yang dibuat orang yang naif bisa mempercayai informasi dengan mudah dan langsung berpikir jika informasi tersebut adalah Mudah dimanfaatkan orang lainKarena mudah percaya dan ditipu, itulah mengapa orang naif juga menjadi mudah dimanfaatkan orang lain yang mengetahui sifat naif-mu, akan lebih sering memanfaatkan kebaikanmu untuk keuntungan mereka Ketergantungan kepada orang lainMerasa ketergantungan kepada orang lain juga merupakan ciri-ciri orang naif, lho. Orang yang naif biasanya lebih memilih untuk membiarkan dirinya dimanfaatkan orang lain karena takut kehilangan dukungan dari orang-orang Tidak ingin keluar dari zona nyamanMerasa bahagia di situasi saat ini dan tidak ingin keluar dari zona nyaman? Nyatanya, sifat tersebut bisa dibilang sebagai ciri-ciri orang yang berada di zona nyaman bisa menjadi penghambat pertumbuhan seseorang. Dari situ, seseorang tidak bisa mendapatkan pengalaman baru dalam hal mengatasi sifat naif yang negatifcara mengatasi sifat naif yang negatifBerdasarkan ciri-ciri orang naif di atas, bisa dikatakan jika sifat tersebut tidaklah merugikan orang lain. Namun, ciri-ciri orang naif tersebut malah merugikan diri dari itu, jika kamu merasakan beberapa sifat di atas terlihat mirip denganmu, lebih baik diatasi, ya. Tujuannya, tentu agar kamu tidak merugikan diri cara mengatasi sifat naif yang negatif bisa dicoba melalui beberapa cara di bawah iniCoba bertemu dengan banyak orang dengan latar belakang yang berbeda-bedaOrang naif sering disebut tidak memiliki banyak pengalaman. Maka dari itu, kamu bisa mengatasinya dengan cara mulai bertemu orang-orang di luar untuk membangun hubungan baik dengan orang dari latar belakang yang berbeda-beda. Dengan begitu, pandanganmu akan dunia bisa menjadi lebih Keluar dari zona nyamanDi atas, telah disebutkan bahwa salah satu ciri-ciri orang naif adalah terlalu nyaman dan tidak ingin keluar dari zona solusi yang bisa dicoba untuk mengatasinya tentu saja dengan keluar dari zona nyaman. Jika kamu melakukan hal-hal baru, kamu akan menemukan berbagai peluang menarik di luar itu, pandanganmu terhadap suatu hal pun akan menjadi lebih beragam, tidak selalu Jangan mudah tertipuCiri-ciri orang naif memang dikenal mudah tertipu. Maka dari itu, usahakanlah untuk tidak mudah percaya atau tertipu akan omongan orang kamu mendapatkan sebuah informasi dari orang lain, pastikan untuk mencari tahu kebenaran dari informasi tersebut Berpikir panjang sebelum melakukan sesuatuNah, kamu juga harus mulai melatih diri untuk berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu, kamu bertindak untuk membantu, pastikan jika informasi tersebut memiliki banyak bukti intinya, orang yang naif ini justru merugikan dirinya sendiri karena ia terlalu membuka diri kepada orang ini berujung kepada orang lain yang akan memanfaatkan kebaikannya secara cuma-cuma. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya untuk belajar mengenali diri sendiri dan orang di sekitarmu, takut untuk memulai sesuatu yang baru juga. Sebab, hidup akan selalu diwarnai dengan banyak hal-hal baru yang bisa dipelajari. Budayamemiliki sifat yang dinamis atau tidak statis. Artinya bahwa budaya itu tidak selamanya tetap dipertahankan sebagaimana originalnya. kebiasaan buruk yang sering terjadi di Nias ialah budaya menjatuhkan orang lain (fadƑni ahe). Sikap mental dan cara berpikir seperti itu masih kental dalam kehidupan orang Nias. Ketika orang lain mulai Apa yang terpikir oleh Anda saat mendengar kata “naif”? Kebanyakan orang menganggap naif sebagai sesuatu yang buruk. Padahal, naif memiliki arti luas yang bisa bermakna positif maupun negatif. Simak uraian berikut ini untuk mengetahui lebih lanjut. Apa itu naif? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI naif memiliki dua arti. Pertama, naif artinya sangat bersahaja, tidak banyak tingkah, lugu karena usia muda dan kurang pengalaman, dan sederhana. Kedua, naif artinya celaka, bodoh, dan tidak masuk akal. Hal ini menunjukkan bahwa naif memiliki arti luas, bisa positif maupun negatif, tergantung kondisi atau situasinya. Lantas, menjadi orang naif itu baik atau buruk? Orang naif adalah orang yang polos, kurang pengalaman, kurang bijaksana, dan terlalu lurus. Pada kondisi tertentu, sifat ini mungkin terkesan buruk karena bisa sangat mudah percaya atau dimanfaatkan orang lain. Namun, pada beberapa kondisi, kenaifan tak selamanya buruk. Sifat ini bisa membawa rasa optimis terhadap sesuatu. Kenaifan Anda mungkin tampak sebagai itikad baik atau kebaikan hati bagi orang lain. Ciri-ciri orang naif Untuk lebih memahami apa itu naif, Anda perlu mengenali ciri-ciri orang naif berikut ini Mudah percaya dan terlalu percaya pada orang lain meskipun telah berkali-kali dibohongi Mudah tertipu Mudah dan sering dimanfaatkan orang lain Mudah dipengaruhi orang lain Kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman dalam hidup Usia terlalu muda Sangat bergantung pada orang lain dan tidak dapat berfungsi tanpa orang lain Kurang mampu memahami pembicaraan Selalu terlindungi, misalnya memiliki orang tua yang overprotektif Takut menerima tantangan, tidak mau mengambil risiko, dan enggan keluar dari zona nyaman Sifat naif pada seseorang bisa dipengaruhi oleh usia. Anda mungkin memiliki sifat naif karena masih muda, sehingga kurang bijaksana dalam memandang sesuatu. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman saat masih muda juga bisa membuat seseorang menjadi naif. Sebuah penelitian yang dikutip Science Daily menyatakan bahwa orang yang lebih tua cenderung lebih baik dan lebih akurat dalam memperkirakan sesuatu dibandingkan anak muda. Pengalaman dan pengetahuan yang lebih banyak adalah faktor yang mendasarinya. Cara mengatasi sifat naif yang negatif Pada dasarnya, sifat naif bisa diubah. Anda mungkin khawatir sikap ini akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Untuk itu, Anda perlu menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi sesuatu tanpa mengurangi rasa optimisme atau kebaikan hati Anda. Berikut ini beberapa cara mengatasi sifat naif yang negatif sekaligus memperbaiki diri Anda Luangkan waktu untuk introspeksi diri serta mengenali perasaan dan pikiran Anda. Luangkan waktu sejenak untuk berpikir sebelum mengatakan atau melakukan sesuatu. Luangkan waktu untuk berpikir dan melihat sesuatu dari segala sudut pandang sebelum mengambil keputusan. Tingkatkan kewaspadaan dan selalu berhati-hati. Tingkatkan kesadaran, fokus, dan konsentrasi, serta hindari terhanyut dalam pikiran Mendengarkan dengan penuh perhatian. Tingkatkan pengetahuan dan pengalaman dengan membaca, mengikuti pelatihan atau webinar, mendengarkan podcast, atau melakukan hal-hal baru. Tetap percaya pada orang lain, tetapi belajarlah untuk mengenali tanda-tanda kebohongan orang lain agar tidak mudah dibohongi. Networking atau berikan kesempatan pada diri Anda untuk bertemu dan berkenalan dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Jangan takut untuk mempercayai firasat Anda.. Catatan dari SehatQ Naif adalah suatu sifat yang bisa dimaknai dengan positif maupun negatif. Sifat yang terlalu naif mungkin membuat seseorang lebih mudah tertipu atau dimanfaatkan orang lain. Di satu sisi, kenaifan bisa membantu Anda lebih optimis dalam melihat sesuatu. Hal terpenting adalah terus belajar dan berani melihat dunia luar lebih luas agar pengetahuan dan pengalaman lebih kaya. Ini bisa menghindari Anda dari sifat naif yang negatif. Dengan begitu, Anda juga bisa lebih bijaksana dalam menyikapi sesuatu. Jika masih ada pertanyaan seputar apa itu naif atau masalah pada perilaku lainnya, Anda juga bisa bertanya melalui fitur chat dokter di aplikasi kesehatan keluarga SehatQ. Download aplikasinya di App Store dan Google Play sekarang!
BahasaNias atau "Li khöda" adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Nias.Bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa Sumatra Barat Laut-kepulauan Penghalang dan berhubungan dengan bahasa Batak dan Mentawai.Pada tahun 2000, penuturnya berjumlah sekitar 770.000 orang. Bahasa ini termasuk bahasa yang unik karena setiap fonemnya selalu diakhiri dengan huruf vokal.
Pengen tahu lebih banyak tentang Suku Nias? Berikut diuraikan bagaimana sifat dan karakter Orang Nias pada umumnya. Namun sebelumnya, perlu diketahui bahwa artikel ini tidak bertujuan untuk merendahkan apalagi menghina suku maupun identitas personal Nias, melainkan untuk berbagi pengetahuan umum yang dianggap layak dan bermanfaat. Dengan kata lain, publikasi konten ini dilakukan dengan itikad baik dan diharapkan memberikan manfaat positif kepada pembaca yang ingin mengenal dan bersahabat dengan masyarakat Ono Niha. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki sifat dan karakter tersendiri sebagai makhluk sosial. Hal ini cenderung menjadi keunikan pribadi tersebut bisa saja dipengaruhi oleh berbagai faktor luar dirinya seperti lingkungan sosial; termasuk adat istiadat suatu adat istiadat juga memiliki dampak yang begitu besar dalam membentuk sifat seseorang selama memberlangsungkan kehidupan di Sifat dan KarakterSecara sederhana, sifat dapat didefinisikan sebagai ciri khas atau rupa dan keadaan yang melekat pada diri seorang individu. Sifat dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal diri manusia seperti pergaulan, pendidikan dan lain sebagainya, yang masih memungkinkan untuk bisa diubah. Sementara karakter, adalah sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Sifat dan Karakter Orang Nias Sifat dan karakter ini adalah fenomena kehidupan sosial Nias sehari-hari, antara lain1. Mudah Bergaul Orang Nias biasanya mudah bergaul dengan orang-orang baru. Hal ini menandakan mereka tidak menutup diri untuk berteman dengan banyak orang tanpa membedakan status suku, agama, ras, antargolongan, warna kulit dan lainnya. Pergaulan yang dimaksudkan adalah pergaulan positif. Sementara untuk hal yang tidak baik, mereka cenderung menutup diri dan menghindar. Ono Niha. Licensed by M. Dhea Sonya Zend2. Mudah Memaafkan Secara umum, orang Nias dapat dikatakan sebagai makhluk sosial yang mudah memaafkan kesalahan orang lain. Hal ini populer dengan istilah "aya khöu wa'ebolo dödö". Artinya, kalungmu adalah kesabaran. Dengan kata lain, seseorang dianggap berjiwa besar jika ingin memaafkan orang lain atas suatu kesalahan yang telah karena itu, apabila pernah berbuat salah, jangan sungkan untuk meminta maaf. Sebab, itu lebih baik dan bernilai positif. 3. Toleran dan Suka DamaiOno Niha memiliki sifat toleran dengan berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat. Misalnya, dalam hal perbedaan kepercayaan. Orang Nias tidak merasa terganggu dengan perbedaan kepercayaan antara satu dengan yang lain. Dalam kultur Nias, tidak menghargai/menghormati orang lain adalah perbuatan tidak terpuji dan dianggap sebagai seseorang yang tidak tahu aturan adat. Hal ini populer dengan istilah "Si lö mangila huku". Artinya, seseorang yang tidak tahu hukum/ Suka Bekerja Sama Sejak dahulu kala, masyarakat Nias selalu mewujudkan sifat kerja sama dalam gotong royong. Gotong royong pun hingga pada saat ini masih tetap dilaksanakan. Bahkan, dengan berkerjasama seperti ini, mereka biasanya tidak menuntut upah kerja hingga misi kerja ini populer dengan istilah "Aoha Noro Niluli Wahea, Aoha Noro Nilului Waoso". Artinya, Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. 5. Kukuh dalam persatuan SolidSesuai dengan aturan adat Nias, masyarakat wajib memiliki sifat yang kukuh dalam persatuan/ kebersamaan. Hal ini sangat jelas terlihat dalam melaksanakan suatu kegiatan yang membutuhkan banyak orang. Termasuk saat menghadapi kubu yang dianggap sebagai musuh pada masa lampau. Sifat ini masih juga terbawa-bawa hingga saat ini. Artinya, jika sesuatu terjadi dengan komunitasnya, mereka tidak akan meninggalkannya begitu saja sebelum mereka Rela Mati daripada Malu Bukan rahasia lagi jika orang Nias memiliki sifat khas yang populer dengan istilah "Sökhi Mate Moroi Na Aila". Artinya, lebih baik mati daripada malu. Tetapi, jangan salah paham dulu. Hal ini tidak terjadi pada semua aspek kehidupan mereka. Memang, hal ini didasari pada sistem adat Nias yang tegas; yang telah dicetuskan para leluhur sejak dahulu kala. Umumnya, sifat ini muncul ketika mereka merasa terancam atau berada di bawah tekanan secara terus-menerus dengan pihak tertentu yang tidak bisa ditolerir lagi. Meskipun demikian, ingatlah bahwa orang Nias juga bersifat mudah memaafkan. 7. Keras Kemauan Tak dapat disangkal bahwa umumnya orang Nias juga memiliki sifat keras kemauan. Kemauan yang dimaksudkan adalah keinginan yang kuat untuk mencapai atau memperoleh sesuatu yang telah dicita-citakan sebelumnya. Dengan sifat ini, mereka umumnya menjadi pekerja keras demi mencapai mengerjakan apa saja yang dianggap baik dan tidak melanggar hukum asalkan bisa berhasil di kemudian Sopan dalam Tindak Tutur Sesuai dengan sistem adat Nias secara keseluruhan yang ikut mempengaruhi sifat dan karakter masyarakatnya, terdapat satu perilaku yang biasanya ditradisikan dari generasi ke generasi adalah sopan dalam bertutur kata kepada orang kehidupan Ono Niha, biasanya mereka sangat menghormati orang yang lebih tua. Menyebut nama asli, apalagi dengan tujuan menghina dianggap sebagai perilaku yang tidak pantas/tidak beretiket. Inilah salah satu alasan mengapa masyarakat Nias lebih suka memanggil seseorang dengan nama gelar atau marga saja. Hal ini populer dengan istilah "Moroi Khömö Zumangemö". Artinya, dari dirimulah penghormatanmu/caramu menentukan orang lain memperlakukanmu. Apabila anda menghargai orang lain, mereka pun akan melakukan hal yang sama sebaliknya untuk Suka Menolong Orang Nias juga sama dengan masyarakat lainnya di dunia. Mereka suka memberikan pertolong kepada orang-orang yang membutuhkannya. Tidak berbatas pada hubungan kekeluargaan saja. Bahkan, mereka dapat menolong seseorang yang belum dikenal sama-sekali. Misalnya, pergi berwisata ke suatu tempat di wilayah Pulau Nias dan akhirnya tersesat ketika melintasi daerah yang jauh dari permukiman warga. Tak perlu takut. Apabila bertemu orang-orang yang sedang bekerja di kebun/ladang, anda dapat meminta pertolongan kepada mereka. Yang jelasnya, anda juga perlu memberitahu siapa anda dan bagaimana bisa sampai pada alamat yang tidak tepat. Yakinlah, orang Nias tidak sejahat yang diironiskan oleh banyak orang tidak bertanggung jawab. Tahu, tidak? Sistem kehidupan orang Nias menganut paham "Fatalifusöta". Artinya, Persaudaraan. Semua orang yang mereka tahu baik dan tidak membahayakan akan dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri. Ini berlaku untuk semua orang, baik saudara, bukan saudara, kenal atau belum Protektif Salah satu sifat unik lainnya yaitu protektif. Tidak dapat disangkal jika sifat ini umumnya dimiliki oleh orang Nias. Protektif yang dimaksudkan di sini adalah "bersifat melindungi". Umumnya, sifat ini sangat terlihat jelas pada orangtua yang telah memiliki buah hati. Selain untuk anak laki-laki, mereka juga sangat protektif terhadap pergaulan anak perempuannya. Umumnya, mereka tidak rela membiarkan buah hati mereka hidup sendiri tanpa perhatian dari orang tua. Dalam kulturnya, fakta unik perempuan Nias juga telah dijabarkan lebih jelas. Di sana, anda bisa mengenal bagaimana perempuan di Nias diperlakukan secara terhormat. Perempuan Nias - Licensed by Dhea SonyaPerlu diketahui juga bahwa ini tidak berarti orang Nias tidak percaya kepada anak-anaknya. Mereka pun memberikan kebebasan untuk mencapai cita-cita dalam dunia pendidikan di mana pun mereka inginkan. Tetapi, khusus untuk pergaulan, semuanya dalam batas wajar yang dianggap Sayang Keluarga Sifat orang Nias lainnya yaitu "Sayang dengan keluarga". Seperti masyarakat lainnya, orang Nias juga sangat menyayangi keluarganya. Mereka biasanya saling dukung mendukung dalam menyukseskan suatu hal dalam itu, anak-anak juga biasanya suka membantu orang tuanya bekerja untuk mencari nafkah selain Berdasarkan pada beberapa sifat masyarakat Nias pada umumnya, mulai dari sifat yang mudah bergaul, mudah memaafkan, toleran dan suka damai, suka bekerja sama, rela mati daripada malu, keras kemauan, sopan dalam tindak tutur, suka menolong, protektif hingga sayang keluarga adalah keunikan orang Nias, Ono demikian, anda tak perlu enggan bergaul dengan masyarakatnya. Kita semua sama, yang penting kita saling menghormati sesama dan berlaku baik. Untuk itu, artikel ini diharapkan dapat membantu anda mengenal lebih jauh tentang Nias dan dapat dipergunakan sebagai rujukan terkait hal yang positif.
Danmeskipun tidak selalu bahwa setiap orang yang melanggar larangan itu langsung tertarik untuk berkunjung ke toko tersebut, namun dengan cara itu pemilik toko telah berhasil mempromosikan tokonya beserta isi dagangannya. Dan setiap orang yang melihatnya secara tidak sadar akan menyimpan dalam memori mereka bahwa ada toko tersebut. ArticlePDF AvailableAbstractBeing a pluralist community, Nias consists of not only the Nias ethnic group but also other ethnic groups, such as Tionghoa Chinese, Padang, Batak and Javanese. Social harmony within the community is like no other ever found in other regions across Indonesia. Indeed, social harmony amongst the Nias community has been a very much interesting social fact for research and analysis. Has some sort of local wisdom been exercised as a social capital to create the social harmony within the life of this religious-pluralist community? A research on this was conducted in Kota Gunungsitoli by applying the descriptive-qualitative research. The research shows that their local wisdom of Banua dan fatalifus/em>ta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua taideide sideideide mutayaig/em>and the fact that religious communites in this region have strong understanding and emphasize on their religious values are matters that heavily influence both the creation and the preservation of the social harmony within the community. Keyword Social-harmony, Religious Pluralism, Cultural diversity, Nias, Banua dan fatalifus/em>ta Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS DALAM MEMPERTAHANKAN HARMONI SOSIAL Sri Suwartiningsih dan David Samiyono Universitas Kristen Satya Wacana ABSTRACT Being a pluralist community, Nias consists of not only the Nias ethnic group but also other ethnic groups, such as Tionghoa Chinese, Padang, Batak and Javanese. Social harmony within the community is like no other ever found in other regions across Indonesia. Indeed, social harmony amongst the Nias community has been a very much interesting social fact for research and analysis. Has some sort of local wisdom been exercised as a social capital to create the social harmony within the life of this religious-pluralist community? A research on this was conducted in Kota Gunungsitoli by applying the descriptive-qualitative research. The research shows that their local wisdom of Banua dan fatalifusöta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö [tidak bold] and the fact that religious communities in this region have strong understanding and emphasis on their religious values. These factors heavily influence both the creation and the preservation of the social harmony within the community. KEYWORDS social-harmony, Religious Pluralism, Cultural diversity, Nias, Banua and fatalifusöta. 236 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 ABSTRAK Masyarakat Nias adalah masyarakat plural yang tidak hanya terdiri dari suku Nias saja, tetapi juga terdiri dari suku-suku bangsa lainnya, seperti Tionghoa, Padang, Batak dan Jawa. Harmoni sosial yang telah tercipta dalam masyarakat Nias ini telah menjadikannya berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia. Harmoni sosial yang tercipta dalam komunitas masyarakat Nias telah menjadi sebuah fakta sosial yang layak untuk dianalisis dan diteliti. Upaya harmoni apa yang dilakukan oleh masyarakat Nias yang agamis-pluralistik ini yang menjadi modal dasar bagi terciptanya harmoni sosial tersebut? Penelitian dilakukan di Kota Gunungsitoli dengan pendekatan penelitian deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kearifan lokal Banua dan fatalifusöta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö dan pemahaman dan penekanan nilai-nilai keagamaan yang kuat bagi pemeluk-pemeluknya yang agamis-pluralistik memiliki hubungan yang sangat erat terhadap terciptanya dan terpeliharanya harmoni sosial yang ada di dalamnya. KATA KUNCI harmoni sosial, Pluralisme Agama, Nias, Banua dan fatalifusöta. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 237 LATAR BELAKANG Masyarakat Nias adalah salah satu masyarakat plural yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Sampai sekarang masih belum ada sumber informasi yang pasti tentang asal-usul masyarakat Nias yang Salah satu suku bangsa mayoritas yang ada dalam masyarakat Nias adalah suku Nias. Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" Ono = anak/keturunan; Niha = manusia dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" Tanö = tanah. Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di 1 Tentang asal-usul masyarakat Nias masih belum ada kepastian yang jelas atau kesepakatan di antara para antropolog, ada yang mengatakan bahwa leluhur masyarakat Nias berasal dari Indostan, yaitu suatu istilah geografis kuno untuk negeri-negeri di sebelah Timur Laut dari India; ada juga yang mengatakan bahwa leluhur masyarakat Nias berasal dari Tionghoa. Sedangkan menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Menurut mitos tersebut, di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke-9 putra itulah yang dianggap menjadi orang-orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias lihat Wikipedia, ‚Suku Nias‛, 25 Nopember 2011, diakses 29 Agustus 2014, 238 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 wilayah pedalaman pulau ini sampai Masyarakat Nias adalah masyarakat plural yang tidak hanya terdiri dari suku Nias saja, tetapi juga terdiri dari suku-suku bangsa lainnya, seperti Tionghoa, Padang, Batak dan Jawa. Hal ini terjadi karena datangnya orang-orang dari luar Pulau Nias yang memiliki berbagai kepentingan, seperti berdagang perniagaan. Jejak mereka dapat dilacak dari permukiman mereka yang sekarang di Idano Gawo, Sirombu, Gunungsitoli kota terbesar di Pulau Nias, Lahewa, dan Tuhemberua semua terletak di daerah pesisir pantai Pulau Nias, terbesar bagian Kemudian dalam perjalanan waktu para pendatang ini semakin lama semakin merasa betah tinggal di Pulau Nias, dan akhirnya memutuskan untuk tinggal menetap di pulau ini. Menurut Elio Modigliani, yang dikutip oleh Johannes Maria Harmmerle, hal ini juga kemungkinan disebabkan oleh terjadinya suatu proses asimilasi dalam suatu proses yang panjang melalui migrasi para penduduk dan melalui perkawinan campur. Lama-kelamaan tercipta suatu ciri khas gabungan dari dua elemen Secara sosiologis, asimilasi dalam bentuk perkawinan campuran ini semakin memperkuat keberadaan atau status sosial mereka dalam komunitas masyarakat Nias. Sebagai konsekuensi riil sosiologisnya ialah bahwa akhirnya mereka diterima sebagai 2 Wikipedia, ‚Suku Nias‛. 3 Phil J. Garang, Nias Membangun Harapan Menapak Masa Depan. Jakarta Yayasan Tanggul Bencana Indonesia, 2007, h. 47. 4 Johannes Maria HĂ€mmerle, Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interpretasi, Gunungsitoli Yayasan Pusaka Nias, 2001, h. 42. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 239 bagian yang sah secara adat dan agama di dalam masyarakat Nias. Asimilasi ini menjadi ikatan sosial yang sangat kuat, tidak hanya secara sosiologis tetapi juga secara emosional. Hal ini disebabkan oleh sistem kemasyarakatan dalam masyarakat Nias yang berlandaskan atas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Selain pluralitas etnis di atas, salah satu kenyataan objektif lainnya yang kelihatan secara jelas dalam konteks masyarakat Nias adalah pluralitas agama. Dari segi kehidupan keagamaan, masyarakat Nias adalah masyarakat yang agamis-pluralistik. Ada yang memeluk agama Kristen Protestan, Katolik, Islam dan Buddha. Namun secara kuantitatif, masyarakat Nias mayoritas memeluk agama Kristen Protestan. Pada kenyataannya dalam perjalanan waktu yang sangat panjang, masyarakat Nias yang agamis-pluralistik ini telah hidup berdampingan dengan damai dan rukun. Sampai saat ini masyarakat Nias telah hidup berdampingan secara damai dan toleran. Secara sosiologis, masyarakat Nias hidup secara bersama-sama sebagai sebuah komunitas sosial yang saling menerima, menghargai dan membaur satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan keagamaan dan kegiatan-kegiatan sosial. Seperti pada perayaan hari-hari besar keagamaan, masyarakat Nias yang berbeda agama saling menghormati dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan peribadatannya. Tidak ada keengganan orang yang beda agama untuk menghadiri kegiatan-kegiatan keagamaan meskipun hal tersebut diselenggarakan di tempat-tempat ibadah seperti gereja, masjid, dan sebagainya. Bahkan sampai sekarang masih ada kebiasaan saling berkunjung ke rumah antar-pemeluk agama 240 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 sebagai pengikat tali silaturahmi pada perayaan hari-hari besar keagamaan, seperti Natal dan Tahun Baru atau Hari Raya Idul Fitri, dan sebagainya. Juga dalam upacara-upacara adat seperti pesta perkawinan dan upacara penguburan orang mati, tetap terjalin kepedulian dan persaudaraan yang indah, baik dalam peristiwa suka maupun duka. Harmoni sosial yang telah tercipta dalam masyarakat Nias ini telah menjadikannya berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah-daerah lain di Indonesia yang juga agamis-pluralistik, namun pada kenyataannya seringkali menjadi medan kekerasan dan ajang konflik sosial. Secara historis, hampir tidak pernah terjadi konflik horizontal yang bersifat destruktif di dalam masyarakat Nias. Tidak pernah ada aksi teror atau kekerasan atas nama agama dan atau atas nama suku seperti yang sering terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Harmoni sosial yang tercipta dalam komunitas masyarakat Nias telah menjadi sebuah fakta sosial yang layak untuk dianalisis dan diteliti. Harmoni sosial ini menjadi sesuatu yang layak untuk diteliti oleh karena biasanya pada komunitas masyarakat agamis-pluralistik di daerah-daerah lain sering diwarnai disharmoni sosial atau keretakan-keretakan dalam hubungan sosial antar-individu atau kelompok-kelompok sosial. Hal inilah yang melatarbelakangi kajian penelitian ini apakah ada kearifan lokal dalam masyarakat Nias, khususnya Kota Gunungsitoli ini yang menjadi modal dasar bagi terciptanya harmoni sosial tersebut? KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 241 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kepulauan Nias tepatnya di Kota Gunungsitoli, karena peneliti menganggap lokasi ini lebih representatif untuk menggambarkan nuansa kehidupan sosial masyarakat Nias yang agamis-pluralistik. Alasan Kota Gunungsitoli dipilih sebagai lokasi penelitian karena kota ini merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat pluralitas tinggi, dan sejauh ini tidak pernah terjadi konflik sosial, politik, budaya dan agama di kota ini. Hal ini mencerminkan adanya sebuah kesepakatan sosial di antara masyarakat. Kesepakatan sosial itu dapat berdasarkan atas kearifan lokal yang diakui sebagai pilar kerukunan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, mengapa? Karena penelitian kualitatif sangat efektif untuk mengkaji nuansa sikap dan perilaku yang samar-samar serta proses sosial yang ada di masyarakat. Di samping itu melalui pendekatan kualitatif dapat digunakan untuk mengeksplorasi di mana dan mengapa suatu kebijakan, kearifan lokal dan tindakan dilakukan. Dalam penelitian ini dipergunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu dengan teknik interview wawancara, teknik observasi dan dokumentasi. Signifikasi dari penelitian ini antara lain Pertama, tersedianya modal sosial yang melibatkan networks jaringan, norms norma-norma, dan kepercayaan sosial social trust dalam masyarakat. Kedua, hasil penelitian ini bisa menjadi momentum pemikiran dunia akademis, khususnya kaitan antara agama 242 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 dengan wilayah kehidupan sosial lainnya, seperti ekonomi, politik, dan integrasi sosial. Ketiga, hasil penelitian juga memberikan masukan kepada pemerintah dan organisasi-organisasi sosial-keagamaan sebagai pilar-pilar masyarakat sipil di Indonesia, betapa kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia memiliki nilai damai’ yang sangat signifikan dalam menyumbang terciptanya hamoni sosial. TINJAUAN PUSTAKA Sebagai pisau analisis dalam membahas dan menjawab tujuan penelitian maka diperlukan kajian teoritis. Penelitian ini menggunakan teori Pluralisme, Harmoni Sosial dan Kearifan lokal yang diuraikan sebagai berikut Pluralisme Menurut Prof. John A. Titaley, pluralisme adalah kenyataan bahwa dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya dan agama. Keragaman agama itu terjadi juga karena adanya faktor lingkungan tempat manusia itu hidup yang juga tidak sama. Lingkungan hidup empat musim bagi seseorang akan membuat orang tersebut memiliki karakter dan pembawaan yang berbeda dengan orang yang hidup dalam lingkungan yang hanya terdiri dari dua musim, seperti musim hujan dan musim panas. Agama bukan saja suatu lembaga yang berhubungan dengan Yang Mutlak saja, tetapi juga adalah lembaga sosial. Dia adalah bagian dari kebudayaan karena dia dihidupi dalam kehidupan manusia sehari-hari, sama seperti KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 243 kehidupan lainnya. Karenanya, sebagai suatu institusi sosial, agama itu juga adalah bagian dari satu sistem kebudayaan. Jadi kalau kebudayaan manusia itu beragam, maka dapat dipahami pula kalau agama itu pun juga beragam. Mengapa agama itu juga bagian dari kebudayaan? Karena manusia tidaklah dapat hidup di luar Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural, yaitu bangsa yang terdiri dari berbagai agama, suku bangsa etnis, bahasa, kebudayaan, dan adat istiadat. Seharusnya realitas kemajemukan ini disyukuri sebagai salah satu kekayaan yang dapat merajut harmoni sosial di tiap-tiap daerah di Indonesia, sekaligus sebagai modal untuk membangun integrasi bangsa. Namun sangat disayangkan, pluralitas atau perbedaan yang ada tersebut justru seringkali dijadikan sebagai sumber atau faktor yang menjadi penyebab konflik atau kekerasan, secara khusus pertikaian antaragama di Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir menodai dan mengancam harmoni sosial dan integrasi nasional. Padahal pluralisme terkait dengan penghargaan dan toleransi antara self dan the other, kelompok – tanpa memandang besar atau kecil – dengan kelompok lain. Pluralisme bukan pula membenarkan segala ekspresi kebudayaan nihilisme seperti budaya kekerasan, budaya memaksa, budaya korupsi, dan dosa-dosa sosial 5 John Titaley, ‚Pluralisme dan Kerukunan Hidup Beragama‛, Suara Merdeka 9 Desember 2005, diakses 31 Maret 2012, 6 Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural Menghargai Kemajemukan, 244 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 Pluralisme berasal dari kata pluralism yang berarti jamak. Ia dicirikan oleh keyakinan-keyakinan bahwa pluralisme merupakan realitas fundamental yang bersifat jamak, di mana ada banyak tingkatan dalam alam semesta yang terpisah yang tidak dapat teredusir dan pada dirinya independen. Sedangkan alam semesta pada dasarnya tidak tertentukan dalam bentuk, tidak memiliki kesatuan atau kontinuitas harmonis yang mendasar, tidak ada tatanan koheren dan rasional fundamental7. Pluralisme sebagai konsep nilai ideal mesti dibangun dengan pemahaman-pemahaman yang besar agar tidak setengah-setengah ataupun justru terlalu berlebihan. Shihab memberikan gambaran pluralisme dengan batasan-batasan tertentu8, yaitu Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kemajemukan. Namun yang dimaksud pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Sikap dan tindakan aktif untuk memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme yang hanya menunjuk pada suatu realitas di mana aneka ragam ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, pluralisme harus dibedakan dengan relativisme. Relativisme berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakat. Keempat, pluralisme bukanlah Menjalin Kebersamaan. Jakarta Penerbit Buku Kompas, 2003. 7 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta Gramedia, 1996, h. 853. 8 Alwi Shihab, Islam Inklusif, Bandung Mizan, 1999, h. 41-42. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 245 sinkretisme di mana terdapat usaha untuk menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut. Sikap dan tindakan dalam berinteraksi menjadi hal terpenting mengingat hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Keterlibatan aktif dengan kelompok lain untuk bertoleransi, memahami, serta membangun dan memperkaya keragaman dalam komunitas global adalah pengertian pluralisme yang lebih mendalam. Knitter mengatakan bahwa ada tiga jembatan yang dapat menghubungkan memori umat beragama ke dalam satu sikap yang mendukung teologi pluralisme di antara umat Pertama, jembatan historis-kultural. Melalui cara ini, maka titik tekan dari pembahasan mengenai agama-agama adalah sifat kebenarannya yang relatif. Dengan melihat bahwa semua agama hidup dalam sebuah keterbatasan budaya, maka ia tidak bisa menjadi standar untuk melihat kebenaran agama lain. Kedua, jembatan teologis-mistis ini diartikan bahwa isi pengalaman keagamaan yang otentik itu tidak terbatas, dan melampaui segala bentuk untuk menggapai. Misteri Allah yang tidak terbatas itu menuntut pluralisme keagamaan dan melarang agama manapun memiliki firman satu-satunya atau firman terakhir. Ketiga, jembatan etis-praktis. Motivasi dari pendekatan pluralitas bukanlah kesadaran historis, kepercayaan mistis, tetapi 9 Paul F. Knitter dan John Hick, Mitos Keunikan Agama Kristen The Myth of Christian Uniqueness, Jakarta BPK Gunung Mulia, 2001. 246 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 perjumpaan dengan penderitaan-penderitaan umat manusia dan kebutuhan untuk mengakhiri keadaan yang membangkitkan kemarahan itu. Kebutuhan mempromosikan keadilan, menjadi kebutuhan umat beragama terhadap kepercayaan mereka. Ini merupakan awal dari teologi pembebasan. Dalam salah satu makalahnya, Abdurrahman Wahid Gus Dur, pernah mengatakan Karena budaya kita memang suka terbilang, maka dengan sendirinya kemajemukan itu telah ada dalam kehidupan bangsa kita. Tetapi akan lebih mantap dan berwajah lebih lengkap, kalau hal ini kita sadari dengan baik sebagai warga negara yang mengetahui kebutuhan hidup bersama, kebutuhan akan hidup toleransi dan menghargai orang lain, sebagai sebuah sikap hidup yang dimiliki sehari-hari. Dengan demikian sikap eksklusif dalam membina kehidupan bersama memang mudah diungkapkan, namun sulit Sebelumnya, dalam pidato pada perayaan Natal Nasional pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai Sidang Senayan Jakarta, Abdurrahman Wahid menyampaikan Saya adalah seorang yang meyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pesantren, hidup di kalangan keluarga kiai, tak pernah sekalipun saya merasa berbeda dengan yang 10 Abdurrahman Wahid, Kemajemukan Modal Membangun Bangsa, Makalah tidak diterbitkan, 8 Agustus 2003, h. 3. 11 Rumadi, ‚Dinamika Agama Dalam Pemerintahan Gus Dur‛, dalam KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 247 Harmoni Sosial Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama orang lain. Pola dasar keberadaan manusia ialah hubungan antar-pribadi. Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam arti mampu hidup tanpa orang Suatu masyarakat akan berada dalam ketertiban, ketenteraman, dan kenyamanan, bila berhasil membangun harmoni sosial. Banyak hal yang berkaitan dengan harmoni sosial, baik dari aspek ideologi, politik, ekonomi, budaya, pertahanan, dan Sebagai makhluk sosial, setiap orang tidak akan pernah hidup dengan dirinya sendiri, tanpa bergantung pada orang lain di sekitarnya. Seseorang akan selalu butuh dengan yang lain, tidak hanya untuk saling bantu dan tolong-menolong, tapi juga untuk membangun komunitas sosial yang saling mendukung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari latar belakang yang beragam suku, budaya, agama, tradisi, pendidikan, ekonomi dan Neraca Gus Dur Di Panggung Kekuasaan, Khamami Zada ed, Jakarta LAKPESDAM, 2002, h. 144. 12 Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah, Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2002, h. 103. 13 Aristiono Nugroho, ‚Harmoni Sosial Berbasis Ketuhanan‛, Sosiologi Dakwah, 7 Maret 2009, diakses 25 Nopember 2011, 248 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 sebagainya, adalah sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dielakkan oleh setiap individu. Namun di situlah keindahan sebuah komunitas sosial bila mampu merekat berbagai perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk saling memahami, tepo seliro dan toleransi, yang akhirnya akan melahirkan persatuan dan saling mencintai. Pada kenyataannya, di tengah masyarakat kita berbagai perbedaan itu kerap menjadi bom waktu dan sumbu pemicu terjadinya konflik horizontal berkepanjangan. Tentu banyak variabel penyebab munculnya berbagai konflik. Bahkan bisa jadi konflik membara dapat muncul dari sebuah komunitas yang berasal dari latar belakang budaya, ekonomi, suku dan pendidikan yang sama. Konflik seperti ini kerap terjadi pada masyarakat Indonesia yang hidup di pedalaman dan tidak memiliki pendidikan memadai untuk mengomunikasikan masalah yang terjadi di tengah mereka. Sehingga bagi mereka bahasa otot jauh lebih efektif untuk menyelesaikan masalah tersebut ketimbang bahasa otak. Situasi seperti di atas mungkin sangat sulit kita temukan terjadi di wilayah perkotaan dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang lebih baik. Walau perspektif ini tidak berlaku mutlak. Karena kita juga kerap menyaksikan para mahasiswa yang notabene berasal dari kalangan terdidik terkadang juga suka menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dengan bahasa otot tawuran, perkelahian jalanan dan menafikan eksistensi mereka sebagai komunitas terdidik yang layak dijadikan sebagai teladan. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 249 Konflik dapat terjadi di mana saja, pada siapa saja dan komunitas manapun, tidak peduli apakah ia berasal dari kalangan terpelajar, suku atau agama yang sama. Setiap orang dapat terlibat dalam arus konflik yang terjadi di hadapannya, atau bersentuhan langsung dengannya kecuali mereka yang memiliki pikiran yang jernih, hati yang lapang dan kendali nafsu yang kuat. Perbedaan budaya, kultur dan tradisi suatu wilayah dengan wilayah yang lain juga akan menghasilkan karakter yang berbeda. Inilah salah satu kekayaan bangsa kita yang terdiri dari banyak suku yang tersebar di berbagai wilayah. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pelbagai perbedaan tersebut dapat menjadi pemicu munculnya sebuah konflik bila tidak dikelola dengan baik. Putusnya jalinan komunikasi dan interaksi antar-tetangga menjadi sebab utama munculnya masalah-masalah besar. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa kesibukan setiap orang yang berangkat pagi menuju tempat kerja dan pulang petang membuat hubungan itu menjadi renggang atau putus. Bahkan, penghuni dua rumah yang hanya dipisahkan tembok, terkadang tidak saling kenal. Apakah ini karena tidak adanya waktu luang, atau tidak pernah meluangkan waktu untuk sekadar saling menyapa atau melempar senyum sembari menanyakan kondisi masing-masing? Bila kultur seperti ini yang lebih kental ketimbang kebersamaan untuk mewujudkan sebuah lingkungan yang nyaman dan aman, masyarakat yang lebih peduli terhadap sesama, maka sangat wajar bila masyarakat tidak menikmati kehidupan sosial yang baik di tengah komunitas masyarakat di 250 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 mana mereka berada. Tidak aneh, bila ada seseorang yang meninggal dunia tanpa diketahui tetangga sekitarnya, dan baru diketahui setelah tercium bau busuk dari Kearifan Lokal Kearifan lokal local genius/local wisdom merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal dengan demikian merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungannya yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan cerita rakyat dan karya-karya sastra, seperti babad, suluk, tembang, hikayat, lontarak dan lain Masyarakat dengan pengetahuan dan kearifan lokal telah ada di dalam kehidupan semenjak zaman dahulu mulai dari 14 ‚Indahnya Harmoni Sosial‛, Almanar, 2 Januari 2013, diakses 25 Nopember 2011, 15 Restu Gunawan mengemukakan ini dalam makalah Kongres Bahasa berjudul ‛Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra‛ Oktober 2008, dikutip dalam AA G Oka Wisnumurti, Mengelola Nilai Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama Suatu tinjauan Empiris-Sosiologis, 2010, diakses 25 Nopember 2011, KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 251 zaman prasejarah sampai sekarang ini. Kearifan tersebut merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat Wietoler, 2007, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun. Secara umum budaya lokal dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah Sementara Moendardjito mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai Ciri-cirinya adalah mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam, budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, mampu memberi arah pada perkembangan budaya. 16 Erwan Baharudin, ‚Kearifan Lokal, Pengetahuan Lokal dan Degradasi Lingkungan‛, 3 Agustus 2011, diakses 25 Nopember 2011, 17 Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa local genius, Jakarta Pustaka Jaya, 1986. 252 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 KOTA GUNUNGSITOLI Sejarah Kota Gunungsitoli lahir pada 7 April Terdapat banyak pendapat mengenai nama ‚Gunungsitoli‛ itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa nama ‚Gunungsitoli‛ berasal dari istilah ‚Onozitoli‛, yaitu suatu nama kampung banua, yang memiliki arti ono = anak, zitoli atau sitoli = nama orang. Pendapat lain mengatakan bahwa nama ‚Gunungsitoli‛ berasal dari ‚Hilisite’oli”, yang memiliki arti hili = gunung, dan site’oli = yang berjejer. Namun, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus budayawan dan seniman Nias bernama F. Zebua, dalam salah satu bukunya menuliskan bahwa nama ‚Gunungsitoli‛ berasal dari istilah ‚Hiligatoli”. Ia mengatakan sebagai berikut Asal-usul logis, benar, argumentatif dan historis-fundamental serta dapat dipertanggungjawabkan tentang sebutan ‚Gunungsitoli‛ berasal dari istilah Hiligatoli, nama gunung dalam pusat kota Gunungsitoli sekarang persambungan Hilihati sekarang. Nama Gunung itu berasal dari nama orang Toli’ana’a, dengan panggilan sehari-hari Katoli = Gatoli. Katoli ini adalah putera sulung baginda Löchözitölu Zebua cikal-bakal Banua Hilihati. Toli’ana’a dikuburkan di gunung itu sebelum timbulnya pelabuhan Luahanou dan sebelum timbulnya istilah ‚gunungsitoli‛ itu. Kemudian Hiligatoli itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu yang 18Lihat Marinus Telaumbanua, ed., Kota Gunungsitoli Sejarah Lahirnya dan Perkembangannya, Gunungsitoli, Pulau Nias tanpa penerbit, 1996. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 253 berakulturasi dengan bahasa Nias menjadi gunungsitoli, yaitu Hili = Gunung; Gatoli dari Katoli = Ka Toli = Si Toli atau Sitoli nama orang tersebut di atas. Profil Geografi dan Wilayah Pemerintahan Kota Gunungsitoli diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008, sebagai salah satu hasil pemekaran dari Kabupaten administratif, wilayah Kota Gunungsitoli meliputi 1. Kecamatan Gunungsitoli Utara 2. Kecamatan Gunungsitoli Alo’oa 3. Kecamatan Gunungsitoli 4. Kecamatan Gunungsitoli Selatan 5. Kecamatan Gunungsitoli Barat 6. Kecamatan Gunungsitoli Idanoi Wilayah Kota Gunungsitoli berbatasan dengan utara, Kecamatan Sitölu Ìri Kabupaten Nias Utara. Selatan, Kecamatan Gidö dan Hili Serangkai Kabupaten Nias. Barat, Kecamatan Alasa Talumuzöi dan Namöhalu Esiwa Kabupaten Nias Utara, dan Kecamatan Hiliduho Kabupaten Nias. Timur, Samudera Indonesia Jumlah penduduk Kota Gunungsitoli berdasarkan Sensus Penduduk pada tahun 2009 adalah sebanyak jiwa. Secara khusus dalam Kecamatan Gunungsitoli, jumlah penduduk adalah jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak jiwa dan jumlah penduduk perempuan jiwa. 254 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 MASYARAKAT GUNUNGSITOLI DALAM PERSPEKTIF TEORI IDENTITAS SOSIAL Secara sosiologis masyarakat Gunungsitoli bukan suatu masyarakat yang homogen. Pluraritas etnis yang ada di dalamnya membuat kota ini memiliki sistem kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena sistem nilai dan tradisi yang berbeda-beda dalam tiap etnis. Berdasarkan teori identitas sosial, salah satu hal yang mengancam potensi harmoni sosial adalah potensi konflik antaretnis. Penyebabnya adalah adanya klaim bahwa satu etnis merasa lebih baik dari pada etnis yang lain. Primordialisme agama, suku dan budaya ini yang memiliki potensi tumbuh dalam masyarakat yang plural. Hal ini seringkali diperburuk dengan terjadinya kesenjangan dalam mendapatkan sumber-sumber langka, seperti jabatan dalam pemerintahan. Berdasarkan realitas sosial ini, dalam menyikapi perbedaan identitas etnis atau cultural identity. Sikap masyarakat Nias yang terbuka terhadap perbedaan ini menyebakan kelompok lain, out group menjadi lebih nyaman. Sikap ini perlu dikembangkan, melalui cara meminimalisir perbedaan in group dan out group, atau penduduk asli dan penduduk pendatang. Dalam bingkai ke-Indonesia-an, Fuller mengatakan ‚Bhineka Tunggal Ika secara harafiah adalah berbeda-beda tetapi KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 255 tetap satu jua berarti persatuan dalam keberanekagaman.‛19 Secara etis, dapat dipahami bahwa seharusnya setiap kolompok etnis harus berusaha untuk saling menerima dan menyesuaikan diri satu sama lain, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa setiap etnis tidak boleh menonjolkan dirinya sediri sehingga merasa superior. KEADAAN SOSIO-RELIGIUS Masyarakat Kota Gunungsitoli adalah masyarakat plural baik dari segi kehidupan sosio-budaya dan sosio-religius. Bukti pluralitas masyarakat Gunungsitoli dari keragaman etnis dan agama yang ada di dalam konteks kehidupan sosial masyarakat Kota Gunungsitoli. Berdasarkan pluralitas etnik, masyarakat Kota Gunungsitoli terdiri dari beberapa suku bangsa, yaitu Nias, Cina Tionghoa, Padang, Batak, dan Jawa. Suku bangsa mayoritas yang ada di dalamnya adalah suku bangsa Nias. Secara umum di seluruh daerah di Kepulauan Nias, dan secara khusus di Kota Gunungsitoli, bahasa yang umum dipergunakan sehari-hari sebagai alat untuk berkomunikasi adalah bahasa Nias. Dalam perjalanan sejarah, telah terjadi asimilasi melalui migrasi penduduk dan dalam bentuk perkawinan campuran antaretnis. Konsekuensi asimilasi ini menjadi ikatan sosial yang sangat kuat, tidak hanya secara sosiologis tetapi juga secara 19 Andy Fuller, ‚Kebebasan Beragama di Indonesia Beberapa Catatan Berdasarkan Observasi Titik Temu‛, Jurnal Dialog Peradaban, Vol. 4, Nomor 1 Juli –Desember 2011. 256 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 emosional, oleh karena sistem kemasyarakatan dalam masyarakat Nias yang juga dilandaskan atas hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Secara khusus dalam pluralitas keagamaan segi kehidupan sosio-religius, Kota Gunungsitoli dikenal sebagai komunitas masyarakat agamis yang terdiri dari berbagai pemeluk agama-agama yang diakui di yang memeluk agama Kristen Protestan, Islam, Katolik, Buddha dan itu dapat terlihat jelas dari tabel sebagai berikut. Tabel 1 Banyaknya Pemeluk Agama Menurut Kecamatan Oktober 201020 Sumber Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Gunungsitoli Jumlah rumah ibadah pada tahun 2009 adalah sebanyak 443 unit, yaitu masjid/surau 59 unit, gereja protestan 359 unit, gereja Katolik 20 ‚Gunungsitoli Dalam Angka 2010‛, No. Publikasi Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias & Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Gunungsitoli. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 257 36 unit, dan vihara 1 unit, tersebar di seluruh kecamatan. Demikian juga pada tahun 2010, tidak ada perubahan dalam hal jumlah rumah ibadah di Kota Gunungsitoli. Hal tersebut dapat terlihat pada tabel di bawah Tabel 2 Banyaknya Rumah Ibadah Menurut Kecamatan Oktober 201021 Sumber Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nias Meskipun masyarakat Kota Gunungsitoli merupakan masyarakat yang agamis pluralistik, namun fakta sosial menunjukkan bahwa tidak pernah ada konflik antarumat beragama, maupun konflik antaretnis yang mewarnai kehidupan sosialnya. Justru realitas sosial yang tampak secara nyata ialah telah terciptanya harmoni 21 Ibid. 258 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 sosial antarumat beragama dan antaretnis. Berdirinya rumah-rumah ibadah tanpa hambatan atau penolakan merupakan salah satu indikator kuat yang menunjukkan bahwa kebebasan beribadah dan kerukunan antarumat beragama telah terjalin dengan sangat harmonis dan kondusif di Kota Gunungsitoli. Di Kota Gunungsitoli, kesadaran umat beragama sangat tinggi, hal ini disebabkan antara lain a. Kuatnya filosofi persaudaraan fatalifusöta yang dibangun dalam masyarakat Nias, baik berdasarkan pertalian darah satu keturunan maupun karena hubungan dalam satu komunitas sosial fabanuasa. b. Adanya sikap non-diskriminatif kesetaraan dan saling menghargai dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Hal ini dibuktikan melalui kesediaan untuk menghadiri acara-acara ibadah perayaan hari-hari besar keagamaan dari pemeluk agama yang satu terhadap pemeluk agama lainnya. c. Penyampaian pesan-pesan keagamaan secara sehat dan benar, yaitu ajakan untuk berbuat kebaikan dan kasih; tidak bersifat provokatif dan fundamentalis. Dalam kegiatan-kegiatan sosial dan budaya, seperti upacara pesta perkawinan dan acara duka peristiwa kematian, tetap saling mengundang dan saling menghadiri, tanpa melihat perbedaan latar belakang agama, etnis, marga, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang terjadi perkawinan antaretnis dan antarumat beragama yang berbeda keyakinan. Namun, hal ini tidak pernah KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 259 menjadi faktor penyebab konflik atau kekacauan sosial dalam masyarakat Nias umumnya dan masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya, selama hal itu telah disepakati bersama oleh keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KOTA GUNUNGSITOLI DALAM MEMPERTAHANKAN HARMONI SOSIAL Untuk tetap menjaga keharmonisan sosial di Kota Gunungsitoli, ada beberapa kearifan lokal yang menjiwai dan melandasi hubungan-hubungan sosial dalam konteks masyarakat Kota lokal tersebut adalah nilai-nilai kehidupan bermasyarakat yang disepakati bersama, yang merupakan perwujudan secara nyata dari nilai-nilai budaya dan nilai-nilai keagamaan yang ada dalam sistem masyarakat Nias secara umum, dan di dalam sistem masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya. Kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut a. Banua dan fatalifusöta. Banua dapat diartikan sebagai sebuah wilayah teritorial yang di dalamnya terdapat sejumlah individu-individu yang berinteraksi satu sama lain. Jadi, banua merupakan tempat tinggal sekelompok manusia atau sebuah komunitas sosial. Di dalam banua ini, disepakati sejumlah hukum atau norma yang mengatur kelangsungan hidup bersama demi tetap terpeliharanya harmoni sosial. Sedangkan fatalifusöta, memiliki makna persaudaraan’, yang tidak hanya didasarkan atas hubungan darah klan, tapi juga hubungan persaudaraan karena 260 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 berada dalam satu banua’, meskipun berbeda marga, suku, maupun agama. Ketika banua didirikan, ada ikrar janji/sumpah dari setiap orang yang mau bergabung sebagai anggota masyarakat yang sah di dalam banua. Makanya ada ungkapan yang mengatakan ‚ufaböbödo banua” yang berarti ‚saya mengikatkan diri saya sebagai bagian dari masyarakat ini‛. Hal ini merupakan komitmen dan kepatuhan terhadap segala hukum atau norma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, banua sebagai komunitas sosial dalam kehidupan sosiologis masyarakat Nias merupakan sebuah tempat kehidupan bersama, yang di dalamnya terdapat banyak orang dari berbagai etnis suku bangsa yang bukan hanya terdiri dari suku bangsa Nias saja, dari timur dan barat, dari berbagai agama, dan dari berbagai marga yang berbeda-beda. Akhirnya, semua ikatan, komunikasi dan interaksi sosial yang terjadi di dalamnya disebut sebagai ‚fabanuasa‛. Kearifan lokal ini telah lama dipelihara, bahkan telah mengakar kuat dalam prinsip-prinsip hidup bersama dalam komunitas masyarakat Nias termasuk Kota Gunungsitoli. Dalam kearifan lokal ini terlihat secara jelas nilai-nilai harmoni sosial yang bernuansa pluralitas etnis secara khusus pluralitas agama. Jadi, apapun agamanya tidak menjadi persoalan, yang paling penting adalah ‚dia itu talifusögu, banuagu‚. Itulah sebabnya dalam berbagai kegiatan di Kota Gunungsitoli kita bisa melihat orang-orang dari berbagai agama dan atau denominasi bisa duduk bersama dengan rukun. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 261 b. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umat Buddha tentang kerukunan umat beragama di Gunungsitoli sebagai berikut Kebenaran bersifat otoritas. Orang tidak bisa menyatakan kebenaran secara universal, karena akan memaksakan orang lain untuk membenarkan apa yang dianggap dirinya benar. Kebenaran adalah milik individu, sehingga orang akan menghormati kebenaran. c. Bukti ajaran yang membuat umat Buddha harmoni dengan sesamanya adalah ajaran-ajaran yang diberikan yang mendorong untuk saling menghargai. Seperti tertulis dalam Kitab Suci Dhammapada Vagga XVI, Gatha, 183 ‚Sabbapassa akaranam kusalasau pasampada sacittapariyodapanart atam buddhana sasanrin” Jangan berbuat jahat, berusahalah melakukan kebijakan sucikan pikiran. Inilah ajaran para Buddha22. Berangkat dari pemahaman inilah maka umat Buddha menjaga kestabilan hubungan dengan sesamanya, meskipun berbeda agama atau bangsa. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam rangka membangun kerukunan antarumat beragama. Dalam hal ini sebaiknya tidak membicarakan doktrin masing-masing, karena perbedaan doktrin dapat memicu munculnya sentimen agama. Sikap saling menghormati dan saling bekerjasama antara pemeluk agama yang berbeda-beda merupakan sikap umat Buddha. Sebagaimana tertuang dalam Kitab Buddha Vagga, 7; Dhammapada XIV 185 22 Dhammapada, Kitab Suci Agama Buddha, Suta Pitaka, Khuddakha Nikaya, Dhammapada Gatha, Tanpa penerbit, tanpa tahun. 262 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 ‚Barang siapa mencari kebahagiaan dari diri sendiri dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, agama Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk menempatkan persatuan dan kesatuan bagi kepentingan bersama.‛23 d. Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo Ungkapan ini merupakan salah satu filsafat hidup masyarakat Nias. Secara bebas dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut ‚seseorang yang masih berada di jalan dianggap sebagai tamu tak dikenal atau orang asing, namun seseorang itu dapat menjadi saudara tamu agung yang sangat dihormati kalau ia sudah berada di dalam rumah kita‛. Ungkapan ini sesungguhnya merupakan penghormatan yang sangat tinggi dari masyarakat Nias terhadap tamu atau orang asing pendatang yang datang berkunjung, bertamu, atau singgah di rumah masyarakat Nias dalam lingkup yang paling kecil, atau di daerah Nias dalam lingkup yang lebih luas. Filsafat hidup ini juga sangat mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Nias secara umum dan di dalam kehidupan masyarakat Kota Gunungsitoli secara khusus. Filsafat ini menghadirkan kenyamanan, keamanan, 23 Ibid. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 263 persahabatan dan rasa persaudaraan terhadap siapa pun yang datang berkunjung atau pun tinggal menetap di Kota Gunungsitoli dan di Nias secara keseluruhan. Melalui filsafat hidup ini, masyarakat Nias mau mengungkapkan bahwa tamu atau orang asing pendatang yang memperkenalkan dirinya dan memberitahu maksud kedatangannya adalah tamu agung yang layak diperlakukan sebagai orang terhormat. Hal ini berlaku kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang agama, etnis, marga, dan sebagainya. Selain pemaknaan di atas, secara sosial dan budaya, ungkapan ini juga bisa dipahami dalam dua pengertian Pertama, mau mengungkapkan keinginan ‚tuan rumah‛ untuk mengundang ‚tamunya‛ datang ke dalam rumah. Ini adalah bagian dari keramahtamahan dan keterbukaan orang Nias. Kedua, bentuk ajakan ‚tuan rumah‛ kepada orang lain untuk membicarakan musyawarah sesuatu hal biasanya dipakai ketika ada ‚tamu‛ yang hendak ‚manofu niha‛/melamar anak perempuan. e. Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö Ungkapan ini seringkali digunakan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan berbagai konflik atau masalah yang terjadi di kalangan masyarakat Nias. Ungkapan ini memiliki makna agar masalah yang besar jangan dibesar-besarkan, sebaliknya diusahakan menjadi lebih sederhana kecil sehingga dapat diselesaikan secara tuntas tanpa meninggalkan bekas atau dendam apapun di hati kedua belah pihak yang sudah bertikai atau berkonflik. Kearifan lokal ini sering diperdengarkan oleh 264 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 para orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat dalam pertemuan-pertemuan yang membahas tentang penyelesaian masalah-masalah sosial, secara khusus masalah-masalah antarwarga dan masalah-masalah kekeluargaan. Semua ini dilakukan demi menjaga dan mempertahankan harmoni sosial yang sudah lama terjalin dan terpelihara dalam komunitas masyarakat. Dalam penyelesaian masalah-masalah sosial tersebut, tidak ada pembedaan marga, suku, agama maupun status sosial lainnya; semuanya didasarkan atas nilai-nilai kekeluargaan, keadilan dan kesetaraan. f. Pemahaman dan penekanan nilai-nilai keagamaan yang sangat kuat bagi pemeluk-pemeluknya Tidak ada keengganan untuk bergaul, bersahabat, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama, etnis, atau marga, sebab setiap orang memegang teguh keyakinan agamanya masing-masing tanpa bisa dipengaruhi oleh orang lain yang berbeda keyakinan dengannya. Hal ini sangat didukung oleh sikap toleransi yang tinggi di antara umat beragama di Kota Gunungsitoli, secara khusus dalam pelaksanaan-pelaksanaan ibadah dan kegiatan perayaan hari-hari besar keagamaan. Demikian juga tidak pernah ada masalah dalam hal pembangunan rumah-rumah ibadah. Semua hal ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai beberapa kearifan lokal seperti telah disebutkan di atas, yang telah menjiwai dan mendasari kelangsungan kehidupan masyarakat Nias umumnya, dan masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 265 Kota Gunungsitoli dengan segala kearifan lokalnya mengingatkan negara kita yang plural ini bahwa untuk menciptakan kerukunan antarumat beragama dalam komunitas masyarakat Indonesia ini, sangat dibutuhkan sikap untuk bersedia saling menerima satu sama lain dengan penuh kasih dan ketulusan, tanpa ada rasa curiga atau prasangka buruk apa pun terhadap satu dengan lainnya. Harmoni sosial antarumat beragama seperti ini menunjukkan kedewasaan dan kematangan masyarakat Kota Gunungsitoli dalam memahami kehidupan keagamaan sebagai alat perekat sosial yang sangat ampuh untuk mempersatukan dan memperdamaikan. Olaf H. Schuman mengatakan bahwa Toleransi beragama membutuhkan manusia yang memiliki mentalitas matang serta dewasa dan mampu mengendalikan emosinya. Di bidang keagamaan, kita selalu menemukan bahwa orang-orang yang bersikap paling toleran terdiri dari mereka yang sadar serta kokoh dalam memegang Hanya dengan cara ini dapat tercipta suatu harmoni sosial antarumat beragama di Indonesia. Bambang Ruseno pernah mengatakan bahwa Kerjasama yang sesungguhnya berawal manakala baik golongan Muslim maupun Kristen sama-sama mengakui bahwa belajar untuk hidup bersama sebagai kesetiaannya kepada Tuhan, untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian dunia serta pembangunan 24 Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan Jakarta BPK Gunung Mulia, 2009, h. 59. 266 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 bangsa adalah lebih penting daripada perpecahan dan permusuhan yang Eka Darmaputera juga pernah mengatakan bahwa Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, dan karenanya kita harus menjadi sesama atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain,26 Kutipan di atas semakin memperjelas kepada kita bahwa setiap orang di muka bumi ini bertanggung jawab untuk perdamaian di tengah-tengah komunitas di mana kita hidup dan berkarya. Sehubungan dengan tanggung jawab ini, mungkin kata-kata Henry Nouwen berikut bisa memberi inspirasi bagi kehidupan bersama di Indonesia Panggilan kita adalah sebuah kehidupan penciptaan damai di mana semua yang kita lakukan, katakan, pikirkan, atau mimpikan merupakan bagian dari kepedulian kita untuk menciptakan perdamaian Dalam konteks perdamaian global, Paul F. Knitter juga mengatakan bahwa tidak ada damai di antara bangsa-bangsa 25 Bambang Ruseno Utomo, Hidup Bersama Di Bumi Pancasila Sebuah Tinjauan Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia. Malang Pusat Studi Agama dan Kebudayaan, 1993, h. 273. 26 Eka Darmaputera, ‚Teologi Persahabatan Antar Umat Beragama‛, dalam Keadilan Bagi Yang Lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA., Karel Erari, Jakarta, tanpa penerbit 1995, h. 194. 27 Henry Nouwen, The Road To Peace Karya Untuk Pendamaian Dan Keadilan. Yogyakarta Penerbit Kanisius, 2004, h. 56-57. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 267 kecuali ada damai dan kerja sama di antara Adalah sebuah kenyataan sosial bahwa setiap orang dari golongan suku, agama, dan ras manapun pasti saling membutuhkan. Karena itu, setiap orang harus menjalin hubungan dengan sesamanya dalam kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas sosial. Arie Jan Plaisier mengungkapkan hal ini dalam salah satu bukunya, sebagai berikut Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia tidak mandiri dalam arti mampu hidup tanpa orang Demikian juga Broto Semedi, menyatakan hal ini dalam salah satu tulisannya Kita menjalani dan menjalankan kehidupan di dalam kehidupan bersama masyarakat bersama-sama dengan orang-orang yang meyakini/menganut filsafat hidup atau agama yang berbeda-beda. Di dalam kehidupan bersama yang demikian itu, sikap dasar kita ialah memandang-menerima-memperlakukan setiap orang di dalam kehidupan bersama siapa pun, suku bangsa apa pun, dengan warna kulit bagaimana pun, apa pun jenis kelaminnya, penganut filsafat hidup atau agama mana pun, apa pun posisi sosialnya, sebagai sesama manusia, dengan martabat manusia 28 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama. Penerbit Kanisius, 2008 h. 290. 29 Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen. Jakarta BPK Gunung Mulia, 2002 h. 103. 268 SOCIETAS DEI, Vol. 1, No. 1, Oktober 2014 yang sama yaitu partner eksistensial Allah, oleh karena itu memiliki hak asasi yang KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan realitas sosial di atas, secara umum kita dapat menarik kesimpulan bahwa Kota Gunungsitoli merupakan salah satu komunitas masyarakat damai di Indonesia. Meskipun ia merupakan sebuah masyarakat agamis yang pluralistik, semua individu dan kelompok masyarakat yang ada di dalamnya hidup berdampingan secara damai dan penuh kekeluargaan. Semua hal ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai beberapa kearifan lokal seperti telah disebutkan di atas, yang telah menjiwai dan mendasari kelangsungan kehidupan masyarakat Nias umumnya, dan masyarakat Kota Gunungsitoli khususnya. Kearifan-kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat Nias yang juga berlaku di Kota Gunungsitoloyang meliputi Banua dan fatalifusöta, Emali dome si so ba lala, ono luo na so yomo, Sebua ta’ide’ide’ö, side’ide’ide mutayaigö dan pemahaman dan penekanan nilai-nilai keagamaan yang sangat kuat bagi pemeluk-pemeluknya yang agamis-pluralistik memiliki hubungan yang sangat erat terhadap terciptanya dan terpeliharanya harmoni sosial yang ada di dalamnya. Secara khusus harmoni sosial ini tercipta dalam hubungan antarumat 30 Broto Semedi W., ‚Kita Di Dalam Pluralitas Agama‛, dalam Iman dan Kepedulian Sosial, Daniel Nuhamara, et al., Salatiga Satya Wacana University Press, 2005 h. 49. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NIAS 269 beragama di Kota Gunungsitoli. Masyarakat Kota Gunungsitoli telah menunjukkan, bahwa fakta pluralitas, baik perbedaan etnis maupun agama bukanlah penghalang untuk bisa hidup bersama secara damai dan penuh kekeluargaan. Istilah banua dalam perspektif etnisitas sebenarnya memiliki makna yang lebih luas secara sosiologis, yaitu keseluruhan masyarakat Nias, tanpa harus mengelompokkan berdasarkan agama atau etnis yang berbeda-beda. Sehingga, etnis Nias sebagai kelompok mayoritas tidak memposisikan diri sebagai in group yang mendiskriminasi kelompok lain yang minoritas. Perasaan etnisitas masyarakat Gunungsitoli tidak hanya terbentuk dan terjalin dalam relasi internal salah satu etnis saja, melainkan terbentuk dari beberapa etnis yang terlihat dalam hubungan sosial di antara kelompok-kelompok etnis yang ada di Gunungsitoli. Hal ini mengingatkan kita kembali bahwa nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di tiap-tiap daerah di Indonesia perlu digali maknanya kembali untuk dapat direlevansikan semaksimal mungkin bagi penciptaan harmoni sosial di tengah-tengah kemajemukan kita. Hal ini patut dipikirkan dan disikapi bersama demi menuju Indonesia yang damai dan harmonis di masa kini dan masa mendatang. Salam damai Indonesia..! ... Fa`atalifusöta merupakan kata yang memiliki makna pertalian persaudaraan. Menurut Suwartiningsih & Samiyono, 2014, fa`atalifusöta tidak hanya berdasarkan hubungan darah, melainkan sambua banua meskipun berbeda marga, suku dan agama. Orang Nias sangat menjunjung tinggi persaudaraan. ... Marinu WaruwuTujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Nias. Kajian pendidikan karakter berbasis kearifan lokal Nias belum banyak dilakukan para peneliti terdahulu. Peneliti menawarkan local wisdom Nias sebagai salah satu alternatif pengembangan pendidikan karakter pada masa kini dan mendatang. Metode penelitian yang dilakukan adalah systematic literature review SLR melalui sumber-sumber yang relevan seperti buku, jurnal nasional maupun internasional, kebijakan pemerintahan dan dokumen yang relevan lainnya. Analisa data menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan pendidikan karakter berbasis kearifan lokal memiliki pengaruh positif pada peningkatan karakter peserta didik. Kearifan lokal Nias seperti fangowai niha Yaahowu; fame`e fegero; fa`atalifusöta; falulusa halöwö; samaeri perlu menjadi prioritas utama pada peningkatan karakter peserta didik melalui model keteladanan, pembiasaan dan penerapan pada kegiatan akademik dan non akademik. Kata kunci Pendidikan; Karakter; Kearifan; Lokal; Literatur, AkademikYunida Bawamenewi Yonatan Alex ArifiantoEach tribe and belief adopted from various regions has its own way of expressing its culture and beliefs, which can be seen from the way the community performs ritual events as a tradition in each tribe regarding the culture and beliefs they hold. The writing in this paper uses literature research where the research method is carried out with a descriptive qualitative approach and hopes that the people on Nias Island view every tradition that exists on Nias Island from a Christian point of view and can provide an understanding that every tradition on Nias Island, has a very beautiful and unique meaning, and invites the people of Nias to always maintain, develop and preserve the existing culture based on Bible truth. AbstrakSetiap suku dan kepercayaan yang dianut dari berbagai daerah memiliki tata cara tersendiri dalam mengungkapkan kebudayaan dan kepercayaannya yang dapat dilihat dari cara masyarakat melakukan acara ritual sebagai tradisi di setiap suku yang menyangkut kebudayaan dan kepercayaan yang dianut. Penulisan dalam paper ini, dengan menggunakan penelitian pustaka dimana metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif deskriptif dan berharap masyarakat di Pulau Nias memandang setiap tradisi yang ada di Pulau Nias dari sudut pandang ke Kristenan serta dapat memberikan pemahaman bahwa setiap tradisi yang ada di Pulau Nias, memiliki makna yang sangat indah dan unik, serta mengajak masyarakat Nias untuk selau menjaga, mengembangkan dan melestarikan budaya yang ada berdasarkan pada kebenaran Marnila ZebuaTuti Rahayu- This study aims to describe the function of Folaya at the Foko'o Simate event in the traditional ceremony of the death of the Nias community, especially in Hiliweto village, Gido District, Nias Regency. The theory used in this study is the theory of M. Jazuli about the function of dance as a means of traditional ceremonies related to events in human life in the form of death. The population in this study is the Nias community in Hiliweto Village, Gido District, Nias Regency, such as traditional leaders, community leaders, artists and cultural experts. The sample refers to 6 people, namely 2 artists, 2 cultural observers, 1 traditional leader and 1 community leader who clearly know about Folaya at the Nias community death ceremony. The research method used in this research is descriptive qualitative method with data collection techniques in the form of observation, interviews and documentation in the field. In qualitative research methods, research results are described and described in accordance with the facts on the ground. The results of the study indicate that Folaya functions as a means of traditional ceremonies in the Nias community's death ceremony which is a medium for conveying respect to someone who has died. Keywords Folaya, Function, Death Ceremony Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fungsi Folaya pada acara Foko’o Simate dalam upacara adat kematian masyarakat Nias khususnya di desa Hiliweto, Kecamatan Gido, Kabuparen Nias. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari M. Jazuli tentang fungsi tari sebagai sarana upacara adat yang berkaitan dengan peristiwa kehidupan manusia berupa kematian. Populasi dalam penelitian ini yaitu masyarakat Nias yang ada di Desa Hiliweto, Kecamatan Gido, Kabupaten Nias seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, seniman dan budayawan. Sampel merujuk pada 6 orang yaitu 2 seniman, 2 budayawan, 1 tokoh adat dan 1 tokoh masyarakat yang mengetahui secara jelas tentang Folaya pada upacara kematian masyarakat Nias. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan dokumentasi di lapangan. Dalam metode penelitian kualitatif, hasil penelitian digambarkan dan diuraikan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Hasil penelitian mengatakan bahwa Folaya berfungsi sebagai sarana upacara adat dalam upacara kematian masyarakat Nias yang menjadi media penyampaian rasa hormat kepada seseorang yang sudah meninggal. Kata Kunci Folaya, Fungsi, Upacara Berkat GeaThis study aims to describe the orientation of Nias cultural values in the lyrics of the maena at the falöwa traditional ceremony in Gunungsitoli. The research was conducted using a qualitative method with an anthropolinguistic approach. The data in this study is a snippet of the lyrics of the maena at the traditional falöwa wedding ceremony, either spoken orally or a collection of written lyrics. Primary data sources are the results of interviews with informants and recordings of playing. The secondary data source is the maena lyric text in the book "Maena Nias – Means of Delivering Messages and Life Stories of the Nias Society," published by the Nias Heritage Museum, 2018. Data were collected using observation and interview methods. The observation method is carried out using the tapping and nonparticipation and the recording techniques as further techniques. The interview method uses direct interview techniques. Then, the data were analyzed in stages 1 data reduction, 2 data presentation, and 3 making conclusions/verification. In the analysis process, the researcher also validated the data by applying data triangulation. The triangulation used in this study is source triangulation. The study results concluded that, first, the society of Nias interprets the nature of life as something that needs to be fought for. Second, the society of Nias views that the nature of the work can increase the position and honor of humans in their environment. Third, Nias society view that humans are influenced by space and time. Fourth, Nias society views the importance of harmonious relations between humans and their natural surroundings. Fifth, Nias society upholds human relations with each has not been able to resolve any references for this publication. KegunaanNikel. Penggunaan utama nikel adalah sebagai bahan pembuat logam paduan. Logam paduan nikel memiliki karakteristik kuat, tahan panas, serta tahan karat. Baca juga: Molibdenum (Mo): Fakta, Sifat, Kegunaan & Efek Kesehatannya. Sekitar 65 % nikel digunakan untuk membuat stainless steel, yang umumnya memiliki komposisi sebagian besar besi
Berbagai suku di Nias ”Pulau Nias ini diduduki oleh sejumlah besar suku-suku.“ Beginilah ditulis oleh Edrisi pada tahun 1154. Edrisi lahir pada tahun 1099 di Ceuta, studi di Cordua, kemudian mengadakan perjalanan panjang dan akhirnya menetap di Sisilia. Untuk raja itu dia menulis suatu buku geografis yang cukup tebal. Antara lain Edrisi menulis tentang pulau Niyan Nias, bahwa “padat penduduknya”, bahwa disitu ada “satu kota besar” dan bahwa “pulau ini diduduki oleh sejumlah besar suku-suku.” Tradisi lisan di Gomo menyebut 6 leluhur atau suku yang diturunkan dari Ibu Sirici. Mereka ini tergolong sebagai penghuni pertama di pulau Nias. Mereka ini secara singkat diuraikan dalam silsilah orang-orang Nias oleh dua Misionaris, Sundermann dan Thomas, sesuai dengan tradisi lisan pada waktu itu, sekitar pada tahun 1885 . Kedua misionaris itu menyebut 2 pohon silsilah tambo. Pohon pertama menyebut penghuni asli Nias yang dinilai kurang manusiawi atau seperti hantu dan roh jahat. Dan baru kemudian diuraikan keturunan yang sungguh manusia niha dalam pohon kedua. Orang Nias menyebut diri mereka sebagai Ono Niha anak-anak dari manusia dan pulau tanah air mereka disebut Tanö Niha tanah manusia. Ia turunkan anaknya yang ke-6, Ibunda Sirici. Lukisan dari P. Johannes M. HĂ€mmerle. Penghuni Nias yang pertama Grup Etnis dari bawah niha moroi tou Inilah manusia dari dunia bawah [moroi ba mbanua tou], penghuni gua yang tergolong periode awal Mesolitikum. Mereka menganut budaya epi-paleolitik Hoa Binh yang terkenal dari Vietnam. Terbukti melalui ekskavasi di Gua Tögi Ndrawa di dekat Gunungsitoli pada bulan Agustus 1999 oleh Museum Pusaka Nias bekerjasama dengan Universitas Airlangga. Batu yang di gunakan manusia yang di temukan di Gua Tögindrawa. Ekskavasi berikut oleh Balai Arkeologi Medan. Tögi Ndrawa, artinya Gua Orang Asing. Gua ini sudah dihuni lebih tahun yang lalu. Leluhur mereka disebut Latura Danö atau Nazuwa Danö atau Ba’uwa Danö. Ada beberapa variasi namanya. Masalahnya, dalam penelitian DNA patriliniar Y-Chromosom keturunan mereka tidak ditemukan. Gen mereka belum ditemukan pada masyarakat Nias yang hidup saat ini. Grup Etnis yang berkulit putih niha safusi Leluhur mereka Bela, dan mereka disebut Ono Mbela anak dari Bela. Ekskavasi di Gua Tögi Ndrawa dilakukan, karena tradisi lisan bicara tentang manusia gua. Ternyata benar. Tradisi lisan tidak boleh diremehkan. Lebih banyak lagi tradisi lisan bicara tentang suku Ono Mbela, yaitu manusia yang hidup di atas pohon. Mereka pemilik hutan dan marga satwa di rimba sokhö utu ndru’u. Manusia dari etnis atau suku lain yang hendak memburu di hutan, harus minta izin dari mereka dengan memberi persembahan sesajen. Pada tahun 1985 masih dapat dilihat persembahan yang diletakkan di bawah pohon. Grup Etnis di Sungai cuhanaröfa Leluhur mereka oleh tradisi lisan di Nias disebut Cuhanaröfa. Grup Etnis dengan kepala besar sebua gazuzu Leluhur mereka Nadaoya, yang dipandang juga sebagai roh jahat atau iblis yang memangsa. Grup Etnis di Sebelah bawah air terjun sihambula Disebut juga Sihambula yang tinggal di sebelah bawah air terjun dan Awuwukha, yang tinggal di jurang terjal. Grup Etnis di sebelah bawah air barö nidanö Tiada kemungkinan, orang hidup di bawah air. Besar kemungkinan, orang yang dimaksudkan disini adalah orang atau satu suku yang tenggelam dalam Tsunami. Bagi mereka ini dipakai juga istilah Bekhu Nasi hantu laut. Ternyata, bahwa suku Niha manusia yang menuturkan tradisi lisan, mengutamakan sukunya sendiri dan tidak mau membuang untuk menceriterakan kepada kita berita tentang penghuni pertama di pulau Nias. Siapakah orang-orang ini dan apakah mereka benar-benar ada? Sudah pasti ada orang-orang di pulau, sebelum kelompok etnis saat ini tiba. Hal ini dikonfirmasi oleh catatan sejarah dan penelitian arkeologi. Beberapa kelompok yang dijelaskan ini mungkin hanya cerita mitologi, tetapi yang lain, terutama orang yang tinggal di gua dan di pohon, memang ada. Mereka kemungkinan adalah kelompok suku Austronesia yang telah diisolasi di Nias. Beberapa orang Nias sekarang memiliki rambut keriting, yang mungkin merupakan hasil gen dari penghuni-penghuni pertama di Nias. Penghuni Nias yang disebut Niha manusia Menurut mitologi mereka, orang-orang Nias awalnya, hidup di dunia atas surga, dan nenek moyang asli menurunkan mereka ke bumi Pulau Nias. Grup Etnis dari atas moroi yaĆ”a Niha manusia Ibu Nazaria menurunkan satu orang leluhur dari grup manusia itu. Belum jelas siapa dia itu, entah Ho atau Hia atau Hia-Ho. Dalam Hoho disebut Ho pada awal mula Ho ba mböröta. Penelitian DNA menemuka kesamaan suku Nias dengan suku-suku di Filipina dan Taiwan. Sedangkan suku-suku asli di Taiwan berasal dari Yunan, Cina Selatan. Saudara jauh? Kiri suku-suku di Taiwan. Kanan suku-suku di Filipina. Dalam ke-2 silsilah tertua yang ditulis oleh Sundermann dan Thomas diakui, bahwa sudah ada suku-suku lain di Nias, sebelum suku Niha datang. Grup Manusia ditaksir masuk ke Nias sekitar tahun 1350 M. Mereka ini membawa kemajuan di sektor pertanian, peternakan, teknik menenun, pertukangan kayu, pandai besi, tukang emas yang datang dari Padang Lawas Sumatra, arsitektur rumah, adat-istiadat/budaya, penghormatan terhadap orangtua dan para leluhur, patung leluhur, budaya megalitik, silsilah, dll. Mengingat bahwa pada waktu itu dinasti Ming menguasai laut di Asia Tenggara sampai ke Afrika, mengingat juga bahwa pada waktu itu di Singkuang, kota di muara sungai Batang Gadis yang berhadapan dengan Nias, terdapat suatu koloni orang Cina serta satu galangan kapal lih. buku Tuanku Rao, maka sangat mungkin suku Niha di Nias berasal dari situ. Terdapat cukup banyak indikasi untuk teori itu. Sebagai suatu perbandingan kita dapat melihat suku Mandailing, yang merupakan suatu suku campuran antara Jawa, Cina dan Bugis. Para leluhur suku Niha yang terkenal adalah Ibunda Siraso, Hia dan Ho. Mereka berdomisili di Sifalagö Gomo. Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Medan di Sifalagö Gomo menemukan bukti kehadiran Niha di Sifalagö Gomo pada tahun sekitar 1350 atau sekitar 600-700 tahun yang lalu. Imigrasi sebelum Hia? Leluhur Daeli, terhitung 42 generasi dalam silsilah. Leluhur Ho, terhitung 56 atau 59 generasi dalam silsilah. Leluhur Sihai, Sirao, Luomewöna terhitung l/k 60 generasi dalam silsilah untuk marga Zebua . Leluhur Gözö/Baeha, terhitung ca. 40 generasi oleh marga Baeha di Lahewa. Leluhur Daeli berdiam di Tölamaera, Idanoi, dan Gözö di dekat muara sungai Muzöi. Ama Waigi Hondrö di desa Onohondrö menyebut juga suatu rumusan kuno ”Siwa götö niha me löna so Hia.“ Artinya 9 generasi sebelum ada Hia. Maka kita harus mengurangi sekitar 225 tahun dari tahun kelahiran Hia. Dengan melihat banyaknya generasi dari para leluhur di sebelah atas, maka kita harus memperkirakan kedatangan para leluhur itu jauh sebelum Hia. Dengan menghitung 25 tahun untuk satu generasi, imigrasi mereka boleh jadi sbb. Daeli pada tahun ± 950 M , Ho pada tahun ± 600 M, Sihai/Zebua pada tahun ± 500 M, Gözö pada tahun ± 1000 M. Perhitungan ini tidak bermaksud untuk membenarkan angka-angka generasi dalam silsilah-silsilah tersebut di atas. Hanya menggambarkan suatu skenario untuk penelitian lebih lanjut atas sejarah para leluhur di Nias. Rumusan kuno berbunyi Ladada raya Hia, lafailo yöu Gözö, ladada Ho ba ndroi Gaidö, ya'ia börö zanatulö. Hia diturunkan di Selatan, Gözö diturunkan di Utara, Ho diturunkan di lembah Gidö, dia itu sumber perdamaian. Kelompok etnis lain di Nias Wanita dari marga Polem Suku Polem dari Aceh Pada tahun 1639, Iskandar Muda meninggal di Aceh. Tiga tahun sesudah itu, tahun 1642, suku Polem dari Aceh masuk ke Nias dengan memakai 7 biduk. Mereka berlabuh di beberapa tempat di pantai Timur pulau Nias, antara lain di muara sungai Idanoi yang sejak itu disebut Luaha Laraga. Keturunan mereka ditemukan di desa Mudik dan juga di To’ene. Peninggalan dari zaman itu adalah 2 meriam besar yang dapat dilihat di Pendopo di Gunungsitoli dan di depan mesjid tertua di Mudik. Suku orang Bugis Orang Bugis tinggal di pulau-pulau kecil di seluruh Indonesia. Suku Bugis terkenal sebagai perantau. Dalam tradisi lisan Nias terdapat beberapa petunjuk tentang kehadiran mereka di pulau Nias Laowö Maru di sebelah selatan Gunungsitoli, Masa di hulu sungai Oyo Ulu Noyo, Bahoya di Mazinö dan Bekhua di Telukdalam. Tetapi kini, mereka tidak ada lagi di situ. Keturunan mereka sampai sekarang ditemukan di Pulau Hinako, dan Sirombu dan di Pulau Tello. Di Nias, Bahasa Bugis disebut li mbekhua. Mereka sudah lama meninggalkan bahasa mereka sendiri. Namun bahasa itu masih tersisa dalam nama-nama pulau, nama Pulau Tello. Dulu di Makassar terdapat satu kerajaan dengan nama Tello. Suku Bugis di Hinako pernah diserang oleh orang Aceh dan hampir seluruh warganya dibunuh oleh orang Aceh. Keturunan orang Bugis masih ada di kepulauan Hinako, nama marga adalah Marunduri dan Maru'ao. Sekolah untuk orang Cina di Gunungsitoli 1951. Orang Cina Tionghoa Orang-orang Cina telah datang ke Nias sebagai pedagang selama ratusan tahun dan banyak dari mereka telah menetap di pulau. Keluarga-keluarga Cina telah tinggal di kota-kota dan desa-desa yang lebih besar di sepanjang pantai selama beberapa generasi. Di Gunungsitoli ada banyak orang keturunan Cina. Contoh marga orang Cina yang ada di Nias adalah; Lim Halim, Thio, Wong, Tan dan Gho. Bahasa Nias Bahasa ini sangat tua dan unik, belum diketahui dari mana asal usulnya dan belum dapat digabungkan dengan bahasa-bahasa lain dalam satu rumpun atau keluarga bahasa. Diandaikan bahwa setiap suku baru yang berimigrasi ke Nias, lama-kelamaan meninggalkan bahasa mereka sendiri dan kemudian memakai bahasa Nias bahasa penduduk yang sudah kian hadir di situ. Contoh terbaru ialah orang Bugis di Hinako. Sekitar tahun 1800 mereka meninggalkan bahasa Bugis. Begitu juga keturunan Polem yang beradaptasi di Nias dan berbicara bahasa Nias. Contohnya di desa Mudik. Namun seringkali masih terdapat relik-relik dari bahasa ibu sendiri yang dipertahankan. Saat ini ada sekitar satu juta penutur bahasa Li Niha. Ini termasuk orang Nias etnis yang tinggal di pulau serta beberapa ratus ribu orang Nias yang tinggal di tempat lain di Indonesia. Patung Adu Zatua digunakan dalam pemujaan leluhur. Adat-istiadat dan hukum hada, böwö, huku, agama Secara umum diakui, bahwa adat-istiadat hada, böwö kita di Nias berasal dari Gomo. Tetapi ini tidak berarti, bahwa masyarakat Nias seluruhnya berasal dari Gomo. Pokok dari adat-istiadat seluruhnya adalah adat perkawinan böwö ba wangowalu. Bagian lain yang sangat penting adalah hukum yang dirumuskan pada pesta Fondrakö. Bagian lain lagi ialah agama para leluhur, yakni penghormatan terhadap orang tua pemujaan leluhur. Segala-galanya disampaikan dengan doa dan persembahan kepada orang tua yang telah meninggal atau kepada para leluhur. Segala-galanya dimohon dengan doa dari mereka. Struktur masyarakat Nias adalah patrilineal. Yang termasuk dalam suatu clan atau marga adalah semua orang yang berasal dari seorang leluhur laki-laki si sambua mo’ama. Perkawinan adalah exogamy. Putri-putri dikawinkan dengan suku lain. Atau pengantin perempuan diambil dari suku lain dengan melunasi mas kawin yang cukup tinggi. Dalam hal ini sangat penting untuk memperhatikan pihak Iwa saudara ayah calong mempelai perempuan dan uwu atau sibaya saudara dari ibu mempelai perempuan dihitung 8 generasi kembali. Orang Nias mengubah nama mereka ketika mereka memiliki anak. Mereka mengambil nama anak pertama yang lahir, terlepas jika itu adalah anak laki-laki atau perempuan. Orang tua laki-laki menambahkan "Ama" Ayah dan perempuan menambahkan "Ina" Ibu. Sebagai contoh jika pasangan memiliki anak disebut Sökhifao, orang tua akan dikenal sebagai Ama Zökhi dan Ina Zökhi. Teman dan keluarga akan menggunakan nama ini, sementara nama sebenarnya hanya digunakan untuk tujuan resmi. Tradisi ini masih digunakan di Nias saat ini. Hirarki desa Bangsawan wanita dari Nias Selatan. Orang-orang Nias mempunyai struktur hirarki dan dibagi dalam tiga kelas; bangsawan, orang biasa dan budak. Setiap kelas memiliki tingkat yang berbeda. Para ketua adalah yang tertinggi dari para bangsawan, hampir lebih dekat dengan para dewa dari manusia. Berikutnya adalah bangsawan yang terlibat dalam pimpinan. Pangkat rakyat biasa itu lebih fleksibel dan tergantung pada kekayaannya emas, babi dan budak dan kemampuan untuk memberikan pengorbanan yang diperlukan untuk pesta adat owasa. Budak dibagi dalam tiga tingkat; tahanan dari perang, orang yang tidak bisa membayar hutang mereka, dan penjahat dengan hukuman mati yang telah diampuni. Tawanan perang adalah kategori terendah dan kadang-kadang dikorbankan ketika sebuah kepala diperlukan untuk kegunaan upacara. Sebuah Masyarakat prajurit Sekitar abad ke-11 ketika budak-budak menjadi komoditas, Pulau Nias sering diserbu oleh orang luar. Akhirnya kepala suku Nias juga terlibat dalam perdagangan, dengan menjual musuh yang ditangkap dalam pertukaran untuk emasUntuk waktu yang lama, masyarakat Nias hidup dalam keadaan konflik yang terus-menerus. Sering di keadaan membela diri terhadap perampok budak atau terlibat dalam peperangan antar suku. Masyarakat Nias mengembangkan sebuah budaya perang, berfokus pada membangun pertahanan dan membuat senjata. Pemuda-pemuda dibesarkan untuk menjadi prajurit yang ganas dan pelatihan dimulai pada usia dini. Sebagai hasilnya Nias memiliki pejuang-pejuang kuat, tukang ahli pembangun dan tukang besi, tetapi petani atau nelayan yang kurang terampil. Menjadi prajurit tidak berarti bahwa orang itu selalu harus berjuang. Perencanaan strategis dan licik adalah keterampilan penting dalam masyarakat Nias. Strategi politik olah gerak antara desa dan öri adalah bagian dari perebutan kekuasaan yang konstan. Misalnya sebuah desa bisa berpihak dengan pasukan Belanda untuk menyerang mengalahkan musuh, hanya untuk beralih sisi kemudiannya. Siapa pun yang bisa membujuk orang lain untuk melakukan penawaran mereka dengan kata-kata saja adalah orang yang sangat dihormati. Seni pidato itu sangat dihargai, dan sampai hari ini orang Nias adalah sangat terampil pembicara publik dan memiliki keterampilan politik alami. Marga-marga Nias Di Nias ada sekitar seratus marga. Ini adalah sebagian dari marga yang terkenal HIA Berasal dari Börönadu, Gomo, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Nias Barat. TELAUMBANUA Berasal dari Idanoi, Gunungsitoli. Sekarang tinggal di Gunungsitoli, Sawo dan Gomo. GULÖ Berasal dari Sungai Gidö, Nias. Sekarang tinggal di Gidö, Mau dan Mandrehe. ZEBUA Berasal dari Laraga-Ononamölö-Tumöri, Gunungsitoli. Sekarang tinggal di Tumöri, Gunungsitoli dan Mandrehe. HAREFA Berasal dari Onozitoli, Gunungsitoli. Sekarang tinggal di Namöhalu, Lotu dan Gunungsitoli. DAELI Berasal dari Onolimbu, Lahömi, Nias Barat. Sekarang tinggal di Nias Barat. DUHA Berasal dari Negeri To'ene, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Teluk Dalam. HULU Berasal dari Gomo, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Alasa. LAIA Berasal dari Gomo, Nias Selatan. Sekarang tinggal di Lölöwau, Gidö dan Lölömatua. WARUWU Berasal dari Sungai Gidö, Nias. Sekarang tinggal di Mau dan Mandrehe. Marga-marga yang lain Dachi, Halawa, Mendröfa, Ndruru, Gea, Zalukhu, Zega, Zendrato, Lase, Laoli.
. 420 398 378 314 16 222 394 40

sifat buruk orang nias